SEJARAH DESA PUJUNGAN


Desa Pujungan terletak di posisi barat daya dalam bentangan Gunung Batukaru, berada di wilayah administratif Kabupaten Tabanan, berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Buleleng di bagian utara.

Sebelum diuraikan secara singkat tentang latar belakang sejarah Desa Pujungan, terlebih dahulu dijelaskan bahwa tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan berdirinya Desa Pujungan, hanya cerita yang dapat diingat oleh para sesepuh atau penglingsir desa, dituturkan secara turun-temurun kepada penerusnya, itupun harus merangkai satu cerita atau tutur antara sesepuh yang satu dengan yang lain dan dikembangkan berdasarkan adanya bukti-bukti peninggalan barang-barang yang mengandung nilai sejarah tinggi yang diwarisi oleh masyarakat Desa Pujungan seperti Kulkul Perunggu, Guci-guci, Tombak, Genta, Kuburan Kuno dan yang lainnya, maka dengan mengucap kata ampunan semoga tidak disalahkan atas kebodohan/upadrawa karena menyebut sesuatu yang dianggap rajapinulah yang juga berani menyimpulakan bahwa diyakini oleh penduduknya tentang sejarah berdirinya Desa Pujungan adalah sebagai berikut  :

Sebuah wilayah pegunungan dengan bentangan sampai kepesisir laut selatan, dari utara meliputi Desa Wanagiri sampai Desa Gobleg dan Banjar, sebelah timur dari Desa Soka sampai Pulukan, ke selatan dari Tukad Pulukan sampai Desa Kali Kunyit dan dari barat sampai ke Desa Tukad Semaga berkuasa seorang brahmana dari keturunan raja Ida Sri Jaya Bali yang kesah/mengungsi dari Desa Batur Penulisan Kintamani, Bangli, bersama dua orang mahapatih yang sangat beliau andalkan menjaga keajegan daerah kekuasaannya yang bernama I Pasek Kayu Selem dan Pasek Kerandan/Pasek Auman, kedua orang Maha Patih ini selaku pengikut setia raja. Beliau mendirikan sebuah tempat yang dipergunakan untuk pertapaan di kaki Gunung Batukaru bagian barat.

Kedatangan Brahmana beserta Patih serta para pengikutnya membuka hutan ini dengan tujuan awalnya adalah untuk mendirikan  sebuah Pedukuhan atau Pesraman dalam usaha mendekatkan diri dengan Hyang Maha Pencipta yang lama-lama berkembang menjadi sebuah tempat tinggal. Brahmana tersebut (maaf nama tidak diketahui) mengikutsertakan permaisurinya seorang putri asal negeri Cina. Perjalanannya ke barat hanya sesaat karena beliau dipanggil kembali ke Desa Batur untuk melanjutkan tahta kekuasaan ayahanda. Dalam perkawinannya beliau tidak dianugerahi putra-putri, serta untuk meneruskan dinasti keturunannya beliau mempersunting lagi seorang Putri bernama Dewi Danu, dalam perkawinan inilah beliau dianugerahi dua orang Putera yang pertama bernama Sri Mayadana dan Putra yang kedua diberi nama Sri Ugrasena atau dengan nama lain  Sri Arya Dalem Karang.

Mengingat daerah kekuasaannya sampai di barat di daerah Gunung Batukaru, beliau mengutus putranya yang kedua yaitu Sri Arya Dalem Karang memimpin di sana bersama kedua pepatihnya. Masa pemerintahan Sri Arya Dalem Karang diperkirakan pada tahun Isaka 867 (945 M ) sampai akhir hayatnya.

Raja Sri Jaya Bali mempercayakan pemerintahan kepada kedua Pepatihnya yaitu Pasek Kayu Selem yang memerintah di pusat kerajaan atau sebelah utara (di pinggir Gunung Batukaru)  dan Pasek Kerandan memerintah di sebelah Selatan kerajaan. Keturunan kedua Pepatih ini berkembang sedikit demi sedikit. Pasek Kerandan memusatkan pemerintahannya di sebelah selatan dengan memegang penuh amanat raja dan Pasek Kayu Selem dipercaya memegang kekuasaan di Gunung Batukaru.

Pasek Kayu Selem menempati tempat pedukuhan yang telah dibuat oleh Ida Sri Jaya Bali di Lereng Gunung Batukaru dan dia sendiri menamakan Pedukuhan tersebut dengan sebutan Pujung yang diartikan sebagai akhir sebuah perjalanan. Dari situlah berkembang keturunan Pasek Kayu Selem sedikit demi sedikit sampai dengan sekarang.

Bukti yang menunjukkan adanya pemukiman penduduk adalah ditemukannya bekas-bekas pondasi rumah di kawasan kaki Gunung Batukaru, di samping peninggalan-peninggalan bersejarah berupa kuburan tua, guci dari Negeri Cina, kentongan kerajaan yang terbuat dari perunggu, seperangkat pakaian brahmana dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pada masa penjajahan, Desa Pujungan masih berstatus Banjar dengan Desa dinitifnya di Desa Pupuan, Distrik Selemadeg. Kelian Banjar yang diingat pertama adalah I Jembo dengan jumlah penduduk kurang lebih 45 Kepala Keluarga sekitar tahun 1900-an. Nama lain yang tercatat pernah memimpin Desa Pujungan adalah Pan Wijil dan digantikan oleh pimpinan Tiga Serangkai Pan Jebeng, Pan Deri dan Pan Teken, serta untuk memperlancar roda pemerintahan di pelosok Desa, di Tibudalem dibuatkan perwakilan kepemimpinan dan yang menjadi pimpinan adalah I Wayan Sumat. Nama I Ketut Sukarata muncul sebagai pimpinan sekitar tahun 1963 dengan pembantu di masing-masing banjar seperti I Wayan Tebeng yang digantikan oleh I Wayan Wetya, I Wayan Jibleg yang kemudian digantikan oleh I Ketut Mustika, I Ketut Sulatra yang digantikan oleh I Nengah Warya dan I Nyoman Sadra yang kemudian digantikan oleh I Nengah Bumbung, kemudian yang menggantikan I Ketut Sukarata karena habis masa jabatannya adalah Pan Sebeb seorang tokoh dari Banjar Pujungan Kauh yang sekarang menjadi Banjar Puspasari.

Tahun 1965 pada masa Revolusi pemberontakan G.30.S/PKI Desa Pujungan dipimpin oleh I Wayan Nesa Wisuanda yang kemudian digantikan oleh I Wayan Renes seorang mantan pejuang Kemerdekaan.  Nama Gurun Suwaki menggantikan I Wayan Renes sekitar tahun 1968 dan I Wayan Jenjen menjabat sampai tahun 1974. Dalam pemerintahan di Desa Pujungan sekitar tahun 1950 sampai dengan tahun 1974 Desa Pujungan berkembang menjadi dua Banjar, Banjar Pujungan Kangin dan Banjar Pujungan Kauh. Pujungan Kangin dikepalai oleh Nang Karang dan Pujungan Kauh dikepalai Pan Sirta, kedua tokoh mengakhiri masa jabatannya dan digantikan oleh Pan Sedeng sebagai kepala Pujungan Kangin dan Pan Jedeg alias I Nengah Siden sebagai kepala Pujungan Kauh, setelah keduanya mengakhiri masa jabatannya digantikan oleh I Wayan Jenjen sebagai Kelian Banjar Pujungan Kangin dan I Gde Wayan Arkha sebagai Kelian Banjar Pujungan Kauh.

Tahun 1975 berdasarkan atas Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tabanan, tertanggal 1 Oktober 1975 nomor : Pem/II.a/1079/1975,   Desa   Pujungan diresmikan menjadi Desa definitif, dengan Kepala Pemerintahan dipegang oleh seorang Bendesa dan untuk melestarikan budaya adat dibentuk lembaga adat yang dikepalai oleh seorang Bendesa Adat. Kepala Desa Difinitif pertama adalah I Ketut Murdiasa dan membagi Desa Pujungan menjadi lima banjar yaitu, Banjar Puspasari dengan Kelian Dinasnya I Gde Wayan Arkha, Banjar Mertasari Kelian Dinasnya I Wayan Jenjen, Banjar Tamansari Kelian Dinasnya I Ketut Nuita, Banjar Margasari Kelian Dinasnya I Wayan Seja dan Banjar Tibudalem tercatat nama I Wayan Sumatra, I Ketut Korja, I Ketut Oka, dan I Ketut Madera. Bendesa I Ketut Murdiasa mengakhiri masa jabatannya dan digantikan oleh I Wayan Nesa Wisuanda pada tahun 1978 dengan formasi Kelian Dinas yang sama, kemudian pada akhir masa jabatannya I Wayan Nesa Wisuanda digantikan sementara oleh I Ketut Suberata sebelum adanya Kepala Desa Definip dan beberapa bulan kemudian terpilihlah I Ketut Wiranata dengan membawahi lima Kelian Dinas dengan mengganti Kelian Dinas Banjar Mertasari dan Tamansari dimana I Wayan Jenjen digantikan oleh I Made Sunita dan I Ketut Nuita digantikan oleh I Ketut Arcana yang memegang jabatan paling singkat hanya tiga tahun karena diangkat oleh Negara sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bekerja dibidang pendidikan yang kemudian digantikan oleh I Putu Sutamba. Masa jabatan yang kedua kalinya I Ketut Wiranata mengganti lagi dua Kelian Dinasnya dimana I Made Sunita sebagai kelian Dinas banjar Mertasari digantikan oleh I Nengah Buana dan di Banjar Tibudalem I Ketut Madera digantikan oleh I Ketut Budiasa.

Setelah berakhirnya masa jabatan I Ketut Wiranata, I Nengah Buana ditunjuk sebagai pejabat sementara. I Gede Rimayasa terpilih sebagai Kepala Desa Pujungan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008. Berselang hanya beberapa bulan keluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang tata pemerintahan baru di Daerah dan Desa menggantikan Undang-undang  Nomor 5 tahun 1974. Kelian Dinas dimasing-masing banjar yang menjabat adalah Drs. I Made Kirna menjabat sebagai Kelian Dinas Puspasari, I Gd. Putu Santiarta, S.Si. sebagai Kelian Dinas Banjar Mertasari, I Ketut Sandiatma sebagai Kelian Dinas Banjar Tamansari, I Made Karnyana, S.E. sebagai Kelian Dinas Banjar Margasari, dan Drs. I Wayan Sujaya sebagai   Kelian   Dinas   Banjar  Tibudalem.              
Pada tahun 2001 Banjar Puspasari dimekarkan dan dibentuk Banjar Persiapan yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas yang bernama I Wayan Wiratmaja, masa lalu adanya pengawasan pemerintahan Desa disebut sebagai Lembaga Musyawarah Desa, dan sekarang sebagai mitra kerja Kepala Desa ada Badan Pengawas yang disebut Badan Perwakilan Desa (BPD) yang sekarang diketuai oleh I Ketut Sabda dengan dua belas orang anggota. Di bagian lain lembaga adat pernah juga dikepalai oleh I Made Arya Sukantara yang digantikan oleh I Nengah Bumbung dengan dua kali masa jabatan, I Wayan Sugara dan yang terakhir I Wayan Dira sampai dengan sekarang. Tercatat pula sejumlah nama-nama yang mengabdikan diri dimasing-masing Banjar adat yaitu di Banjar Adat Tamansari I Nengah Koni, I Nengah Dabdab, I Made Sudirta, I Ketut Sandiatma dan I Wayan Putra yang menjabat sampai sekarang. Di Banjar Adat Margasari I Ketut Puja dan I Nengah Parjana sampai sekarang. Di Banjar Adat Puspasari, Jro Nyoman Siradana, Jro Wayan Gerana dan Jro Dalang I Gde Wayan Anis sampai dengan sekarang. Di Banjar Adat Mertasari, I Wayan Nuarta dan I Wayan Jimat sampai dengan sekarang. Di Banjar Adat Mekarsari I Wayan Sana, I Ketut Sutika dan I Nengah Sudika sampai dengan sekarang, serta di Banjar Adat Tibudalem tercatat nama-nama seperti I Wayan Santya, I Wayan Purna, I Putu Suanda, I Ketut Sutama, I Wayan Subagiasa dan I Ketut Kawiasa.

Desa Pujungan yang merupakan bagian dari Pulau Bali yang terkenal dengan adat dan budayanya yang khas dengan sebutan Pulau Seribu Pura merupakan warisan leluhur yang harus dilestarikan dan dipertahankan. Peninggalan-peninggalan budaya tercermin jelas dalam hubungan dengan Sang Pencipta seperti Pura-Pura sebagai tempat pemujaan Beliau.


Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar